Bukan orang politik, yg terjun di dunia politik, bukan pula pengamat politik, hanya ingin membuat renungan arti DEMOKRASI BERSIH YG SEBENARNYA, YG TIDAK MENUTUP FIKIRAN DAN HATI NURANI KITA...
Ini adalah percakapan dua insan manusia, Panjul dan saya. Panjul
adalah teman saya sejak kecil. Meskipun umurnya sedikit lebih muda dari
saya, kami sering main bersama, mandi di sungai Cimanuk atau berburu
burung hanya untuk mencari kesenangan. Maklum saat itu jarang ‘hiburan’
dan permainan. Yang punya televisi sekampung paling cuma satu dua orang,
hitam putih pula. Namun sejarah memisahkan kami ketika saya memilih
sekolah di sebuah sekolah kejuruan, sedangkan dia di sekolah umum.
Perpisahan pun berlanjut ketika dia melanjutkan kuliah ke sebuah
perguruan tinggi, sedangkan saya harus bekerja.
‘Pertemuan’ antara kami terjadi seiring hiruk pikuk pemilihan
presiden tahun ini (2014) dimana calon yang ada adalah Prabowo-Hatta dan
Jokowi-JK. Namun rupanya pilihan kami berbeda. Latar belakang, suasana
kebatinan dan pilihan politik masing-masing menghasilkan pilihan yang
berbeda. Dia lebih memilih nomor 1, sedangkan saya memilih nomor 2. Hal
ini pun semakin diperjelas dari status, share, dan like yang dia
lakukan di akun facebook miliknya. Sebenarnya saya tidak pernah sekali
pun meladeni aktivitas dia di facebook yang berkaitan dengan Pilpres.
Namun semakin hari menurut saya apa yang dia share dan like lebih
mengarah ke ghibah, sumir, bahkan fitnah. “Awas lho nJul, kalau ketemu
tak ladeni kamu”, pikirku.
Saat pulang kampung saya berkesempatan bertemu dengannya. Di awal
pertemuan kembali antara kami tidak terjadi percakapan yang serius,
sekedar berbagi pengalaman masing-masing. Tadi malam malah kita ngobrol
bersama perihal Reuni. Namun hari ini sepulang dari warung jalan kaki
menuju rumah, saya mendapati dia sedang asyik duduk di pos kamling
sambil asyik mainin HP miliknya. “Mmmh, sepertinya dia sedang asyik bersosial-media”, pikir saya. Saya hampiri dia sembari menyapa.
“Assalamu’alaikum nJul! Kumaha damang?” tegur saya sambil menyodorkan jabat tangan.
“Wa’alaikum salam Kang. Alhamdulillah sae” jawabnya sembari menjabat
tangan saya dan melihat saya dari atas-bawah. “Bagaimana rencana reunian
yang kita bicarakan tadi malam”, tanyanya kepada saya.
“Masih nunggu respon teman-teman yang lain” jawab saya. “Kamu mesti lagi fesbukan ya?”
“Iya kang. ‘Kan kita harus aktif menyampaikan kebenaran”, ujarnya dengan semangat.
Wah ini mesti arahnya ke Pilpres. Niatan untuk langsung menuju rumah
pun saya urungkan. Ini mungkin kesempatan saya meladeni si Panjul.
“Wah kebetulan nih nJul. Bagaimana kalau kita diskusi masalah
Pilpres. Kamu kan sudah memantapkan pilihan untuk nomor 1″ ajak saya
sembari duduk di samping Panjul. Pos kamling ini terlihat sudah sangat
tua dibandingkan dengan saat dulu saya dan Panjul kecil sering bermain
di dalamnya.
“Ayo kang. Saya sangat senang berdiskusi. Saya mantap pilih nomor 1.
Akang juga kan?”, ujar Panjul sambil memasukan HP nya ke saku.
Rupanya dia belum tahu pilihan saya. Maklum, saya tidak pernah
posting apa pun terkait Pilpres. Apalagi share dan like link-link yang
berkaitan dengan pilihan saya. Tadi malam saya update profile “I stand on the right side“. Namun sepertinya dia belum menyadari hal tersebut.
“Sebenarnya nomor 1 itu baik nJul, tapi saya lebih memilih nomor 2″
ujar saya sedikit berdiplomasi. Muka saya anggukan menunjukan ke gambar
Jokowi-JK yang menempel di dinding pos kamling di sisi sebelah Panjul
duduk.
Nampak air muka Panjul sedikit menggambarkan kekecewaan. “Kenapa
kang? ‘kan sebagai seorang muslim kita wajib memilih nomor 1. Ada bahkan
ulama yang mengharamkan memilih nomor 2 lho kang”
“Ya itu lah nJul, kita sering berpegangan kepada aturan yang sama,
dalil yang sama, tetapi hasil akhir sering kali berbeda”, timpal saya.
“Ayo kita bahas saja point-point nya saja. Bagaimana kalau kamu yang
mulai menjelaskan kepada saya kenapa memilih nomor 1″, tantang saya.
“Sebenarnya nomor 1 dan nomor 2 itu tidak ada yang ideal ya kang”,
ujarnya memulai diskusi. “Tapi karena harus memilih di antara dua, ya
saya pilih nomor 1″
“Sama dengan saya nJul. Jadi di point ini kita sepakat ya”, timpal saya.
“Saya pilih Prabowo karena Jokowi tidak layak jadi Presiden Kang. Pertama, Jokowi itu tidak amanah.
Dia melanggar sumpah jabatan. Belum menyelesaikan jabatan di Solo sudah
jadi Gubernur. Terus belum selesai Gubernur sudah nyapres. Kalau sudah
jadi Presiden apa nanti dia akan nyalon jadi sekjen PBB gitu? Ini kan
tidak benar. Bahaya Kang kalau pemimpin seperti dia.”
“Masak sih?” kata saya sambil nyengir. “Yang bawa Jokowi ke Jakarta
siapa? Prabowo kan? Seharusnya kan kamu pertanyakan juga sikap Prabowo”
Panjul diam seperti sedang berpikir untuk menyikapi pernyataan saya.
“Prabowo jelas melanggar sumpah ‘jabatan’ makanya PRABOWO DIBERHENTIKAN DARI MILITER.
Kalau kamu pertanyakan sikap Jokowi yang terus promosi, bagaimana
dengan Hatta Rajasa yang belum selesai menjabat menteri sudah nyawapres?
Jika kamu tidak pilih nomor 2 karena Jokowi tidak amanah, maka kamu
juga jangan pilih Nomor 1″ tambah saya lagi.
“Kamu partisan partai apa?” saya beranikan diri bertanya pilihan partai Panjul
“Pojok kanan atas kang” jawab Panjul
“Oh sama dengan saya. Pemilu 2009 saya partisan itu”, tambah saya.
“Nah kamu tahu tidak partai tersebut mencalonkan 3 orang; 1 orang ketum
parpol, 1 anggota DPR, 1 gubernur?” tanya saya
Panjul menimpali “Tahu Kang, kan yang Gubernur itu Gubernur kita sekarang ya?”
“Terus apa kamu mau bilang CAPRES KITA juga tidak amanah? Di sini kita harus adil. Kalau kamu permasalahkan Jokowi, maka kamu harus juga permasalahkan HATTA, AHER, HNW, dan ORANG-ORANG LAINNYA YANG TIDAK AMANAH.
Bagi saya mereka semua tetap amanah, karena itu artinya menyanggupi
untuk memikul amanah yg lebih besar. Tapi jika bagimu masalah, lihat lah
di keduanya ada yang menurutmu tidak amanah”.
“Ya sudah, sekarang kita ke point berikutnya Kang. Jokowi itu masalahnya bukan sekedar tidak amanah, tapi Jokowi ingkar janji. Hatta dan yang dicapreskan dari partai saya tidak pernah berjanji untuk terus menjabat Kang” lanjut Panjul.
“Di mana kamu tahu janji Jokowi untuk jadi Gubernur 5 tahun?” tanya saya.
“Janjinya apa?” tanya saya lagi
“Jokowi dan Basuki komit untuk memperbaiki DKI Jakarta dalam lima tahun ini” jawab Panjul.
“Kalau saya bilang begini, Jokowi jadi presiden tapi tetap komit memperbaiki DKI Jakarta, apakah itu melanggar janji?”
“Ya iya atuh Kang!” kata Panjul.
“Yang dia janjikan kan komitmen 5 tahun, bukan Gubernur 5 tahun” timpal saya.
“Ya sama saja Kang. Dia kan juga nyebut gak mikir copras-capres, fokus ngurus rusun, MRT, jeung sajabana”
“Itulah perlunya Khusnudzon atas pernyataan orang. Secara tekstual
kata dan kalimat tidak ada yang salah dengan ucapan Jokowi. Dia tidak
berjanji jadi Gubernur 5 tahun kok. Kita tahu kok JOKOWI TIDAK KOMIT JADI GUBERNUR 5 TAHUN,
meskipun dia komit untuk membangun Jakarta. Masalah copras-capres gak
mikir, mungkin saat itu dia tidak tahu apa bisa nyapres apa tidak. Kan
tergantung partainya juga”, ujar saya.
“Bagaimana dengan fakta bahwa Jokowi itu antek asing, aseng dan yahudi. Ada
agenda asing dibalik Jokowi Kang. Saya ngeri membayangkan jika Jokowi
jadi Presiden. Bisa-bisa Amrik akan lebih menguasai sumberdaya kita”.
Panjul melontarkan point berikutnya.
“Fakta!?”
“Sepertinya kamu harus bisa membedakan fakta dan persepsi atau opini
nJul” kata saya. “Jokowi bertemu dubes adalah fakta, sedangkan Jokowi
antek asing adalah persepsi yang tergantung hasrat kita masing-masing.”
“Dulu waktu jadi Presiden, Megawati menjual aset-aset negara Kang.
Megawati sudah menjual negara kita lho Kang”, ujar Panjul bersemangat.
“Mau tidak saya kaitkan Prabowo dengan lumpur lapindo, kasus impor sapi, atau korupsi haji?”, tanya saya
“Apa hubungannya Kang? Lumpur itu kasusnya ARB, impor sapi itu urusan
mantan ketum Partai saya, korupsi haji itu kasus partai hijau. Gak ada
hubungannya dengan Prabowo”, ujar Panjul
“Ya sudah, itu jawabannya. Yang dilakukan ketum partai pendukung itu
urusan mereka masing-masing. Yang dilakukan megawati itu juga urusan
dia, bukan urusan Jokowi. Dia sudah mencoba memberikan solusi untuk
buyback aset2 yang terlanjur terjual kok. Itu yang sudah dia lakukan di
Jakarta terhadap PALYJA”, balas saya. “Lagi pula kamu pakai standar
ganda gitu. Kemarin kamu dukung Sri Mulyani. Katamu kebijakan tidak bisa
dipidana, apalagi situasi dan kondisi memang mengharuskan Sri Mulyani
melakukan bailout Bank Century. Terus saat Megawati terpaksa menjual
aset karena situasi negara sedang perlu modal, kamu terus menghujat dia.
Meskipun target hujatan adalah Jokowi toh?. Bukan kah itu semua atas
persetujaun DPR/MPR juga? Kemana saja tuh orang-orang partai yang duduk
di DPR/MPR?”.
“Tapi kalau Prabowo kan sangat anti asing Kang” Panjul berusaha menambah argumen
“Sudah nonton VIDEO yang menyatakan Prabowo pro Amrik? Di situ jelas-jelas disebut bahwa Amerika akan mendapatkan HAK-HAK KHUSUS jika
Prabowo dan Gerindra menang” jelas saya lagi. “Bagi saya tidak masalah
Prabowo berusaha mendapat dukungan asing sebagaimana tidak masalah juga
Jokowi melakukan hal yang sama. Namun jika menurutmu itu masalah,
silakan permasalahkan keduanya. Jangan cuma Jokowi yang dipermasalahkan”
imbuh saya.
“Kalau Jokowi antek aseng bagaimana Kang?” timpal Panjul. “Dia itu
antek aseng yang Katolik dan Protestan. Ada bukti dia itu ditunggangi
oleh mereka”
“Mana buktinya” tanya saya
“Kamu jangan langsung percaya suatu berita. Tidak ada
satu orang pun yang selalu benar dan selalu salah. Kita harus kritis
terhadap kabar dari mana pun dan jangan langsung percaya. Cari berita
pembanding sebanyak-banyaknya. Siapa tahu ada agenda politik di balik si
penulis atau media yang bersangkutan. Kalau saya balikan bagaimana?
Kamu tahu ‘kan konglomerat pendukung Prabowo adalah adiknya, Hashim
Djojohadikusumo? Baca dulu tentang adiknya LINK1 dan LINK2. Apa boleh saya sebut Prabowo juga antek Kristen? Tidak bisa dong. Begitu pun dengan Jokowi”
“Ada lho kang bukti fotonya Jokowi itu juga antek James Riyadi di SINI, SINI dan SINI” ujar Panjul
“Memang siapa yang tidak boleh berfoto dengan James Riyadi? Di SINI banyak orang berfoto dengan James Riyadi tapi gak kita ributkan. Kabar yang sepotong jangan lantas jadi kesimpulan”
“Tapi kan yang lebih parah ada Yahudi di balik Jokowi Kang “, balas Panjul.
“nJul, kamu jangan selalu menarik ujung semua masalah umat ke Yahudi.
Jika pos kamling ini roboh akan kau salahkan Yahudi juga? Lebih mudah
menarik garis dari Prabowo ke Yahudi dari pada Jokowi. Ibunya Prabowo
adalah keturunan Jerman-Manado. Kok bisa saat dulu itu ada keturunan
Jerman di Manado, biasanya kan keturunan Belanda? Kalau pikiran
konspirasi mu bermanin, tentu kamu akan langsung menghubungkan Ibunya
Prabowo dengan YAHUDI DI INDONESIA.
Mudah sekali. Tapi kita dilarang melakukan itu ke Prabowo. Ke Jokowi
pun sama. Semua informasi yang tidak pasti itu adalah kabar dari orang
fasik, yang dilarang untuk dipercaya apalagi disebar luaskan” jelas
saya.
Panjul sedikit diam. Mungkin sedang mencoba mencerna penjelasan saya atau mencoba menggali isu baru.
“Kamu tentu tahu isu bahwa orang tua Jokowi adalah Cina? Percaya
tidak kamu muka ndeso kayak gitu bapaknya cina? Lihat tuh mukanya HASHIM yang
oriental. Mengapa tidak kamu cari informasi apakah dia keturunan cina
apa bukan terus kaitkan dengan Prabowo. Bagi saya nJul, jangan lah kita
mencari-cari Prabowo atau Jokowi itu keturunan cina atau apa pun
leluhurnya. Kita tidak boleh rasis. Yang penting bagimu mereka seiman
kan? Ya sudah” papar saya lagi.
“Ada lagi nih Kang. Jokowi itu kan Islam nya gak jelas. Wudhu saja gak tahu. Bacaan Shalatnya saja gak jelas gitu Kang?” tambah Panjul.
“Terus kamu kenapa tidak pernah cari tahu KEISLAMAN PRABOWO? Tidak ada referensi sejarah dia lekat dengan Islam. IBUNYA PRABOWO KRISTEN, ADIK PRABOWO KRISTEN.
Kok kamu menutup mata akan hal itu dan malah mencari-cari masalah
keIslaman Jokowi? Bagi saya, ini persepsi saya, keIslaman Jokowi dan
Prabowo itu sebanding jadi tidak bisa dijadikan point keputusan memilih.
Dua-duanya dari partai nasionalis, orang nasionalis, tidak dekat dengan
Islam. Sekarang-sekarang saja mereka berdua terlihat agamis”.
Saya pun mencoba melanjutkan “Jokowi adalah muslim, maka dia adalah
saudara kita. Saya kasihan sekali dengan Jokowi. Sampai2 dia harus
membagi foto-foto shalat dan naik haji untuk menangkis isu-isu tersebut.
Setelah dia membagi foto untuk mematahkan isu, terus kita sebut dia
riya, pamer. Padahal kalau Jokowi mau riya, tentu harusnya foto-foto
tersebut dikeluarkan dulu-dulu saat nyalon Gubernur dituding IBU JOKOWI KRISTEN oleh
Rhoma Irama. Padahal kamu tahu jika seseorang menuduh saudaranya seiman
kafir padahal tidak, maka kekafiran itu akan berbalik kepada dirinya”,
jawab saya.
“Ya tapi itu kubunya Jokowi kan keterlaluan mempermainkan agama Kang. Masak nantang baca Quran segala”
“Lah itu salah kamu dan orang-orang yang terus menyerang keIslaman
Jokowi. Dibalikin begitu saja langsung kita hujat padahal asal mula
hujatan adalah dari siapa juga. Lha sekarang mana isu agamanya Jokowi
kok hilang begitu saja kan? Apa mau dibilang Prabowo memang gak bisa
ngaji jadi keislamannya meragukan? Kita tidak boleh seperti itu terhadap
keduanya”
“Kalau ini gimana Kang, Jokowi kan produk pencitraan sejati.
Dia adalah produk dari pencitraan. Jadi Gubernur dompleng mobnas
esemka. Jadi Gubernur ke mana-mana bawa media yang notabene dikuasai
kaum kafir dan asing” ujar Panjul.
“Benar kah demikian?” tanya saya kepada Panjul.
“Bener kang. Coba lihat berita-berita saat dia baru jadi Gubernur.
Kemana-mana bawa wartawan. Ini sebenarnya produk yang sengaja dibuat.
Ada grand design di belakang Jokowi. Coba baca di LINK ini Kang”
“nJul… nJul. Sepertinya kamu sudah mempercayai kabar dari orang
fasik. Kalau kamu ikut menyebarkan dengan like atau share di facebook
berarti juga kena penyakit hati”.
Saya melanjutkan, “Saya tidak percaya Jokowi pencitraan seperti yang orang INI sebutkan.
Jokowi tidak punya media. Media mainstream yang punya siapa? TVOne dan
VivaNews punya bakrie yang pro Prabowo, Trans dan Detik punya Chairul
Tanjung teman dekatnya Hatta, Media Indonesia dan MetroTV punya Surya
Paloh yang baru kemarin saja dukung Jokowi, Sindonews dan RCTI/MNC Group
punya Hary Tanoe. Kalau saya melihat, salah wartawan sendiri
kemana-mana ikut Jokowi. Tapi kalau kamu termakan kabar dari itu ya itu
salahmu sendiri”.
Saya pun coba sedikit membalikan, “Terus Prabowo beriklan
selama 6 tahun untuk jadi presiden itu bukan pencitraan? Jelas-jelas
dia bayar media demi citra dirinya itu gitu. Terus masalah PEMBEBASAN WILFRIDA,
apakah Prabowo bukan pencitraan menurutmu? Bagi saya Jokowi dan Prabowo
tidak melakukan pencitraan. Kita saja yang terlalu suudzon terhadap
salah satu atau keduanya. Kalau kamu permasalahkan pencitraan Jokowi,
maka permasalahkan juga dong Prabowo”
“OK Kang, kita lewati point tersebut. Sekarang kita lihat, di belakang Jokowi ada Yahudi dan Syi’ah lho kang. Saya khawatir kepentingan non Muslim akan diprioritaskan. Terlebih JASMEV sudah menyebutkan bahwa jika Jokowi berkuasa, ISLAM TIDAK AKAN DIBERI RUANG“.
“nJul, tidak perlu ke Yahudi lagi ah. ‘Kan sudah saya sebutkan bahwa
Prabowo lebih mudah ditarik-tarik ke Yahudi, baik melalui keturunannya
maupun rekan KONGLOMERATNYA, ataupun KADERNYA.
Tapi kan itu semua kabar fasik. Saya tidak yakin ada Yahudi di belakang
Prabowo. Kita harus teliti dulu berita-berita seperti itu, baik
tudingan ke kubu Prabowo maupun Jokowi” ujar saya.
“Kamu sudah mulai pakai bahasa propaganda itu nJul. Saya
yakin Jokkowi tidak tahu menahu kalau orang-orang Syi’ah mendukung dia.
Saya baca di koran bahwa Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) mendukung
Jokowi. Terus jika IJABI dukung Prabowo, apakah Prabowo akan menolak?
Tentu tidak. Prabowo jelas-jelas pejuang bhineka tunggal ika dan
buktinya PRABOWO SANGAT MENDUKUNG AHOK sebagai pemimpin di Jakarta. PRABOWO akan melindungi Syi’ah dan Ahmadiyah kok.
Keduanya, Prabowo dan Jokowi tidak akan menolak siapa pun yang
mendukung, apakah katolik, protestan, budha, hindu, syi’ah atau
ahmadiyah. Respon Jokowi dan Prabowo itu sama dalam isu ini. Apakah
boleh kita mengkampanyekan ada agenda kristen di balik Prabowo karena
Hashim adalah juga dedengkot kristen? Tentu tidak bisa. Begitu pun
dengan Jokowi”
Sejenak saya diam dan menarik nafas sebelum melanjutkan. “Mengenai
Jasmev, menurut saya itu adalah fitnah. Boleh kita membenci Jasmev, tapi
kita tetap harus berlaku adil terhadap mereka. Saya tidak suka Jasmev
karena profil komandan dan penggiatnya. Tapi tidak lantas kita boleh
berbuat tidak adil terhadap mereka. Akun jasmev yang benar bukan @JasmevNew2014, melainkan @Jasmev2014.
Apa boleh kita memfitnah orang lain karena dia tidak segolongan dengan
kita? Siapa pun yang telah melakukan itu, maka dia telah melakukan
fitnah yang sangat keji terhadap Jasmev.”
“Tapi saya masih tetap ragu dengan Jokowi Kang. Bagaimana dengan ‘Jokowi adalah boneka partai‘ Kang? Saya tidak ingin dipimpin oleh Presiden Boneka” taya Panjul.
“Dari mana kamu dapat istilah tidak patut seperti itu? Bukankah kita
diajarkan berbuat baik dan berlaku adil meskipun kepada orang yang
kita benci?” saya tidak kuasa menahan ketidaksukaan saya terhadap ucapan
Panjul.
Oh, pantes capres mu saja tidak bisa menjaga ucapannya. Pendukungnya pun ikut-ikutan seperti INI dan INI, gumam saya dalam hati.
“Kamu mau tidak kalau saya sebut Prabowo boneka PAN, PKS,
PPP dan Golkar. Tanpa partai-partai tersebut Prabowo gagal nyapres lho.
Prabowo tersandera kepentingan partai-partai tersebut. Kalau ditarik2
pakai caramu, itu artinya dia capres boneka. Ini ada omongan orang yang
pro Jokowi tentang CAPRES BONEKA.
Ini bukan pendapat saya, cuma sebagai pembanding buatmu saja. Terus apa
kamu masih ingat tiga orang yang dicalonkan dari partai kanan atas itu?
Apakah mereka capres boneka? Mereka hanya menyanggupi amanah untuk
dicalonkan oleh partai. Mau kamu menyebut mereka Capres Boneka juga?”,
kilah saya. “Kamu pilih Nomor 1 karena partaimu mengarahkan mu ke situ
kan? Kamu boneka, boneka partai ha..ha..”
Panjul pun turut tertawa tapi agak kurang lepas mungkin juga sekaligus mikir bagaimana membantah bahwa dia bukan boneka partai.
“Bagi saya Jokowi, Prabowo, dan siapa pun yg dicalonkan partai bukan boneka”, saya menambahkan.
“Tapi Jokowi selain boneka partai juga boneka mega. Lihat nih kang, Jokowi SUNGKEM KE MEGA” Panjul menambahkan.
“Begitu saja kok dipermasalahkan nJul. Meskipun saya pribadi tidak
setuju dia melakukan itu, khusnudzon saja lah. Mungkin Mega sudah
dianggap kakak sendiri. Bukan berarti dia itu boneka nya Mega. Daripada Prabowo SUNGKEM KE KUBURAN Pak Harto“, balas saya.
Kali ini Panjul tertawa lepas.
“Saya yakin kalau Jokowi yang melakukan itu maka media propaganda
lawan jokowi akan menyoroti sangat luar biasa. Jokowi ziarah ke makan
Soekarno, dikatakan Syirik. Saya juga tidak setuju Prabowo sungkem ke
kuburan mantan mertua seperti minta izin untuk nyapres gitu. Namun kalau
kita husnudzon saja, mungkin Prabowo sungkem kuburan Pak Harto mungkin
menghargai mantan mertua. Jika prasangka kita ke Prabowo positive saja,
ya mari kita juga berprasangka positif ke Jokowi masalah sungkem dan
boneka ini”.
Sesaat pos kamling menjadi sepi karena saya dan Panjul sama-sama
terdiam. Sesekali suara motor dan mobil yang lalu lalang di depan pos
saja yang terdengar. Kaki Panjul sesekali digunakan menendang kerikil
yang menghampar di depan pos kamling. Tidak lama Panjul memecah
kesunyian.
“Maaf nih Kang, sepertinya akang anti sama media-media yang sering mengkritisi Jokowi. Padahal kritik itu kan penting Kang. Terus media-media tersebut kan media Islam?”, tanya Panjul.
Saya menengok ke arah Panjul sesaat. “Banyak media yang mengaku
mengatasnamakan Islam tapi menggunakan cara-cara tidak islam dalam
pemberitaan politik. Media-media tersebut sangat membantu kita saat
membagi informasi masalah keimanan, ibadah, beramal baik dan sebagainya.
Namun jika sudah membahas politik, banyak kemungkinan penulis dan atau
medianya tidak netral dan cenderung menjadi media propaganda, menjadikan
dugaan sebagai fakta, kemungkinan sebagai kenyataan, keinginan sebagai
kebenaran. Kabar-kabar dari orang fasik dan bahkan fitnah sering
dijadikan alat perjuangan mereka. Media-media seperti itu sering
disisipi tulisan propaganda”.
Panjul mengernyitkan dahi. Mungkin tidak percaya saya sampai berpendapat begitu.
“Cirinya mudah saja mengenali media sudah dijadikan alat propaganda.
Pertama mereka tidak berlaku adil terhadap lawan, padahal kita
diharuskan berlaku adil bahkan terhadap orang yang kita benci. Kedua,
arah pemberitaan seragam dan bisa berubah sesuai situasi politik. Mereka
menjelekan si A dan memuji si B secara masiv, dengan berbagai media
agar terlihat random padahal orang2nya sama. Namun jika arah politik
berubah, media tersebu bisa berbalik memuji si A. Ketiga, media-media
tersebut berisi informasi yang sumir, tidak terkonfirmasi kebenarannya
dan lebih banyak berisi kesimpulan yang dipaksakan sesuai hawa nafsu
mereka saja. Terkadang informasi yang dimuat seperti sinetron, si
penulis bisa menuturkan suatu persoalan seperti dia mengetahui dengan
jelas dan menjadi saksi peristiwa”, lanjut saya.
“Nih saya beri contoh sederhana bagaimana media telah berlaku tidak adil. Coba lihat gambar INI.
Harusnya kita menangis, bukannya tertawa melihat gambar itu. Media tsb
sudah berlaku tidak adil. Orang-orang yang ikut menyebarkannya juga
telah berlaku tidak adail, padahal saya yakin mereka tahu itu dilarang
dalam Islam. Itu gambar diambil pada masa yang berbeda. Padahal kamu
tahu sendiri kondisi fisik prabowo saat ini tidak seperti itu lagi
bukan? Selain itu, sengaja dipilih foto saat Jokowi mati gaya. Jangan
lah kita memanipulasi. Jangan kita memperolok-olok orang lain karena
orang lain tersebut belum tentu lebih baik dari kita. Gambar ini lebih
adil menurut saya INI atau INI“, papar saya
Panjul masih terdiam. Saya lihat dia masih tidak yakin atas apa yang saya sampaikan.
“Mau contoh yang lain. Coba baca berita berikut INI.
Terlepas dari media di belakangnya, yang jelas posting berita tersebut
tidak mengikuti kaidah-kaidah islam. Kita harus melihat berita per
berita. Tidak bisa kita generalisir satu media isinya benar semua atau
salah semua. Meskipun media yang memuat berita tersebut mungkin telah
banyak memberikan manfaat bagi dunia islam, tapi jika suatu berita
dibuat dengan cara yang tidak benar, akan saya sebut tidak benar. Benar
tidak nya berita tersebut bukan masalah isi, melainkan cara membuat.
Apakah bisa kita menyandarkan informasi menyangkut seseorang hanya
berdasarkan informasi seseorang yang lain? Di situ disebut sumber berita
adalah sebuah akun facebook yang katanya mantan Timses Jokowi waktu
nyalon Gubernur. Lha wong Prabowo dan Hashim (adik Prabowo) saja Timses
nya Jokowi waktu itu toh? Kita wajib menelisik kebenaran suatu
informasi, bukan karena informasi tersebut sangat kita sukai lantas kita
sebarkan! Tidak ada sedikit pun ruang bagi ‘tertuduh’ untuk
menyampaikan counter-informasi. Media-media yang sering disebut kafir
saja masih sering menyajikan hak jawab dari pihak yang diberitakan.
Bagaimana sebuah berita di media islam telah secara gegabah dibuat”,
saya sedikit berpanjang lebar.
“Termasuk kalau kita menyebarkan berita di facebook ya Kang?”, tanya Panjul
“Benar sekali. Jika kita share berita yang kebenarannya masih
meragukan, kita bisa terjebak menyebarkan kabar orang fasik. Lebih parah
lagi jika kemudian hari berita tersebut adalah tidak benar, maka kita
telah menyebarkan fitnah. Tuh contohnya yang menimpa WIMAR.
Sudah berapa lama kok saya lihat gambar itu berkeliaran di FB. Jika
kita menyebarkan hal-hal yang tidak kita yakini kebenarannya, itu
namanya menyebarkan kabar fasik, bisa menjadi fitnah. Ingat, tanggung
jawab itu adanya adalah pada diri pribadi, bukan pada sumbernya saja.
Kita tidak lepas tanggung jawab saat membagikan berita yang tidak benar”
“Tapi nih ada satu lagi, Jokowi itu kan sekelilingya bukan orang
baik-baik, sedang Prabowo kan hampir semua orang shaleh berkumpul di
Prabowo Kang. Bukan kah kita harus melihat hal ini juga jadi
pertimbangan?”, ujar Panjul.
“Apa sudah kamu inventarisasi berapa orang yang alim dan shaleh di
kubu Prabowo dan Jokowi terus kamu bandingkan gitu? Banyak orang-orang
bermasalah di kubu Jokowi, begitu pun di kubu Prabowo. Yang bisa kita
lakukan adalah berharap bahwa Prabowo atau Jokowi tidak terpengaruh oleh
orang-orang ini. Lagi pula kan Prabowo sekarang ini saja kelihatannya
alim gitu. Hal ini tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk memilih
pemimpin”.
“Baik kang, kita kembali ke masalah pilihan. Kalau keduanya itu kurang lebih sama terhadap isu-isu yang kita bahas, apa pertimbangan Akang pilih Jokowi?”, Panjul mulai bertanya alasan pilihan saya.
“Begini, nJul. Kita sudah sepakat Prabowo dan Jokowi itu tidak ideal
jadi presiden kan? Tapi karena harus memilih dari keduanya, maka kita
bandingkan keduanya sesuai tuntunan. Beberapa yang telah disampaikan
dalam Islam adalah memilih pemimpin yang (1) beriman dan beramal shaleh,
(2) tegas, (3) lemah lembut, (4) tidak korupsi, (5) adil, (6) berpegang
kepada hukum Allah, (7) diutamakan laki-laki, (8) niat yang baik untuk
jadi pemimpin, (9) menasehati rakyatnya, (10) shidiq, (11) amanah, (12)
fathonah, (13) tabligh dan sebagainya yang mungkin saya tidak bisa
menyebutkan karena keterbatasan pengetahun saya. Hadits dan ayatnya
banyak perihal ini, silakan search saja saya tidak akan copy-paste ayat2
di sini”
“Nah kriteria pertama tentang keimanan menarik. Katanya Jokowi jangan
dipilih karena meninggalkan pemimpin kafir di DKI”, timpal Panjul.
“Boleh saja kamu mengangkat isu keimanan, tapi terlebih
dulu harus kamu tujukan jari kita ke Prabowo, karena dia yang gigih
mencalonkan Ahok jadi pendamping Jokowi. Terus kita harus permasalahkan
juga partai kita yang melakukan hal yang sama, mengangkat orang kafir
sebagai wali/pemimpin seperti di SINI, SINI dan SINI. Satu jari menunjuk Jokowi, jari lainnya ke arah kita semua”
“Terus menurut Akang, apakah point-point kriteria memilih pemimpin tersebut mendorong Akang memilih Jokowi”, tanya panjul
“Nggak terlalu yakin juga nJul. Dari 13 point tersebut menurut saya
keduanya hampir sama. Jokowi tidak lebih baik dari Prabowo dan pula
sebaliknya. Jika kamu menafikan informasi sumir dan fitnah yang sering
kamu baca, saya yakin kamu pun akan memiliki kesimpulan yang sama”, ucap
saya sambil memandang ke tiang pos kamling yang banyak ditempeli
sticker pasangan capres. Sepertinya Panjul juga baru nempel sticker,
pikir saya. “Mungkin JK-Hatta lebih baik dari Prabowo-Jokowi dari segi
keIslaman, sepertinya lho ya”, ujar saya pula.
Saya pun melanjutkan, “Tapi saya pilih Jokowi karena dia
sudah berbuat, sedangkan yang satunya masih berencana, Jokowi teguh
pendirian, yang satunya mencla-mencle”, ujar saya sambil mesem ke arah
Panjul.
Panjul hanya turut tertawa.
“Jokowi menolak World Bank, dia juga menolak partai yang minta-minta jabatan. Itu lah pemimpin yang tegas. Mungkin sisi niat baik untuk menjadi pemimpin lebih
ada di diri Jokowi. Sedangkan di sisi Prabowo, kan terlihat sekali
tidak tegas. Opini saya, semua partai bisa masuk ke koalasi yang Prabowo
bangun agar banyak dukungan. Hari ni bilang A besok bilang B. Hari ini
bilang pemerintah sekarang pakai ekonomi liberal, besoknya ambil Menko
Ekonomi dari pemerintahan liberal menjadi cawapres. Hai ini mengkritik
pemerintahan SBY, besok memujinya. Hari ini bilang pro asing, besoknya
bilang anti asing. Tapi itu persepsi dan pertimbangan saya lho, jangan
dijadikan acuan” ujar saya lagi.
Kami berdua terdiam beberapa saat merasakan semilir angin yang
menembus sela dinding kayu pos kamling. Saya tidak ada niatan menggiring
Panjul untuk memilih Jokowi. Saya hanya ingin agar dia tidak menjadi
korban dan pelaku kabar sumir dan fitnah yang bergentayangan.
“Oh ya ada satu lagi yang membuat saya lebih memilih Jokowi”, saya kembali membuka suara.
“Apa itu Kang?” tanya Panjul.
“Saya juga pilih Jokowi karena dia pemimpin yang dicalonkan, bukan yang mencalonkan diri
seperti hadits berikut LINK, yang terjemahan bebasnya adalah Wahai
Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika engkau diberi
(jabatan) karena meminta, kamu akan menanggung tanggungjawab atasnya,
namun jika kamu diberi (jabatan) dengan tidak meminta(nya), kamu akan
ditolong (oleh Allah), dan jika kamu melakukan sumpah atas sesuatu,
kemudian kamu melihat suatu yang lebih baik, penuhilah kaffarat sumpahmu
dan lakukanlah yang lebih baik. (terjemahan ditranslate dari English, bukan dari Bhs Arab) (Sahih al-Bukhari 7146)”
Panjul berpikir agak lama sebelum berujar. “Saya kok gak pernah
dengar hadits itu sekarang-sekarang ini Kang. Dulu saja sering”, ujar
Panjul. “Tapi, itu kan seperti capres boneka ya Kang. Dicalonkan
partai”, ujar Panjul sambil cengengesan.
“Hus, kamu!” seru saya. “Itu istilah yang tidak baik dan jangan
digunakan. Pengecualian tentu ada seperti kisahnya Nabi Yusuf yang mana
beliau meminta (mencalonkan diri) menjadi bendahara, ya karena tidak ada
orang lain yang amanah dan sanggup/ahli untuk melakukannya”
“Kalau hadits atau bahkan ayat2 Al-Qur’an tentang kriteria pemimpin
yang beriman dan beramal shaleh, dan sebagainya yang Akang sebutkan kan
banyak sekali Kang. Tadi Akang bilang dari
kriteria-kriteria tersebut Jokowi dan Prabowo itu sebelas dua belas ya?
Bagaimana dengan hadits yang menyebutkan ‘Kalau kamu mengirim utusan kepadaku, kirimlah yang tampan wajahnya‘?”, tanya Panjul. “Sumbernya di SINI Kang”
Saya terdiam sejenak sebelum berujar, “Saya tidak mempertanyakan
hadits tersebut. Yang saya pertanyakan adalah, menerapkan hadits kok
maksa begitu. Kan sudah jelas disitu adalah kriteria utusan, bukan
pemimpin. Ya kalau menurutmu Prabowo itu ganteng, paling tidak lebih
ganteng dari Jokowi, maka Prabowo cocoknya jadi utusan saja, duta besar
saja, gimana?”
“Iya juga ya Kang”, Panjul sepertinya antara setuju dan tidak.”Tapi
kalau jadi duta besar bagi Prabowo itu terlalu rendah. Dia hebat
berkomunikasi. Bahasa Inggrisnya saja yahud. Tidak seperti Jokowi. Lihat
video dibagian akhir TULISAN INI Kang”, Panjul kembali berargumen
“Kamu ikut nyebarin video tersebut nJul?”
“Iya Kang. Itu kan wajib. Kita harus tahu calon presiden kita seperti apa”
“Kamu sudah terkena fitnah itu nJul. Jika ada kabar yang menurutmu
baik bagimu, jangan langsung dishare. Teliti terlebih dulu. Saya sudah
nonton video wawancara Jokowi dan Prabowo secara terpisah. Tidak ada
yang aneh dari Jokowi. Ya memang benar, level Bahasa Inggris Jokowi
masih di bawah Prabowo. Prabowo kan sudah mengenyam pendidikan barat,
latihan militer barat. Aneh kalau dia tidak bisa bahasa Inggris”.
Saya pun kembali melanjutkan, “Kembali ke video tersebut. VIDEO JOKOWI
tersebut sudah diedit untuk tujuan propaganda, yakni untuk downgrade
Jokowi. Lihat saja jawaban-jawaban Jokowi tidak nyambung gitu. Itu
manipulasi untuk propaganda nJul. Saya malu kalau baca berita propaganda
yang sudah dimanipulasi apalagi dari pihak yang mengatasnamakan Islam,
padahal apa yang mereka lakukan jauh dari islam itu sendiri.
“Berarti saya sudah salah ya Kang? Saya sudah turut menyebarkan video tersebut padahal ternyata video tersebut palsu”
“Benar sekali nJul. Kamu salah. Kita diwajibkan meneliti semua kabar
yang kita terima. Wawancaranya asli, Jokowi tidak fasih bahasa Inggris
itu asli, yang palsu adalah manipulasi jawaban dan pertanyaan yang
sengaja ditukar-tukar untuk menunjukan Jokowi itu bodoh”.
Sejenak kami terdiam. Tak lama Panjul memecah kesunyian, “Saya mau tanya, apakah Akang pilih Jokowi juga karena isu HAM Prabowo?” tanya Panjul
“Mmh, prabowo diberhentikan dari militer itu fakta. Prabowo pelaku
pelanggar ham itu adalah persepsi, indikasi, dan opini saya. Belum ada
fakta otentik dia yang menghilangkan orang. Bisa saja dia terlibat. Bisa
saja tim nya yang salah menjalankan instruksi. Opini jangan kita
jadikan fakta. Saya tidak mau ikut-ikut menyebarkan kabar fasik dan
memfitnah” ujar saya.
“Tapi isu-isu miring terhadap Prabowo juga banyak ya Kang?”, sela panjul
“Benar sekali. Apa pun isunya baik terhadap Jokowi ataupun Prabowo
selama itu adalah kabar yang belum pasti, kabar dari orang fasik,
fitnah, kita dilarang untuk mempercayainya. Apalagi menyebarkannya.
“Ah, saya kalau tetap pilih Prabowo Kang”, ujar panjul
sambil nyengir. “Dia lebih baik dari Jokowi karena dia sudah menunjukan
kegigihannya berjuang untuk memperbaiki Indonesia. Beliau sudah mapan,
tapi tetap ingin berjuang untuk Indonesia. Ya termasuk membawa Jokowi ke
Jakarta dari Solo kan adalah salah satu upaya Prabowo juga”, ujarnya
kembali.
“Nah itu bagus”, ujar saya.
“Akang sekarang pindah pilih Prabowo?”
“Tidak, tidak. Maksud saya, saya setuju dengan alasanmu memilih
Prabowo. Silakan saja lakukan pertimbangan sendiri dan bandingkan
point-point kriteria pemimpin yang kamu anggap benar. Jangan lupa mohon
petunjuk, lakukan shalat sebelum memantapkan pilihan.
Yang lebih penting jangan menggunakan ghibah,
kabar sumir (dari orang fasik), dan fitnah sebagai pertimbangan mu
kecuali kamu ingin ikut ke golongan mereka“
“Kalau Prabowo yang menang gak apa-apa kan Kang?”, tanya Panjul seakan ingin menggoda.
“Hehe… ya nggak apa-apa nJul. InsyaAllah kita semua harus dukung.
Pendukung Jokowi juga harus turut dukung jika Prabowo terpilih jadi
Presiden atau sebaliknya. Pemilu selesai tidak ada lagi kubu-kubuan”
“Baik Kang. Sepertinya hari semakin sore kang. Saya harus memandikan
si Jangkrik dulu. Besok saya posting lagi di group perihal Reunian kita
mumpung banyak teman-teman kita lagi pada pulang kampung ya Kang”
“Sip nJul. Ayo kita pulang kalau begitu”, timpal saya.
“Assalamu’alaikum Kang”, ujar Panjul sambil berlalu
“Wa’alaikum salam”, jawab saya.
Panjul beranjak meninggalkan pos kamling. Saya masih berdiri
memperhatikan perginya Panjul. Dari kejauhan Panjul sedikit memutar
badan, mengacungkan satu jari telunjuk seraya berkata, “Hidup nomor 1
kang”.
Saya pun mengacungkan dua jari saya.